SMP Terbuka, Menjangkau Anak yang Tak Terjangkau Pendidikan Biasa

Belajar merupakan faktor penting dalam menentukan kualitas kehidupan seseorang. Oleh karena itu kesempatan belajar seharusnya dapat dimiliki oleh siapapun, di manapun dan kapanpun. Konsep pendidikan sepanjang hayat (life-long education) dan pendidikan untuk semua (education for all) yang dicetuskan oleh UNESCO merupakan suatu gagasan yang harus dapat diwujudkan di Indonesia. Namun upaya ke arah itu ternyata masih banyak menemui kendala. Hingga saat ini problem pemerataan kesempatan belajar masih menjadi masalah besar dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, misalnya melalui pembangunan gedung sekolah baru, peningkatan daya tampung pada sekolah-sekolah yang telah ada, penambahan fasilitas belajar, pengadaan dan pengangkatan tenaga guru, pemberian beasiswa, dan lain-lain. Namun upaya itu ternyata belum dapat mengatasi masalah pemerataan pendidikan secara tuntas. Masih banyak warga masyarakat yang belum dapat terjangkau oleh layanan pendidikan, terutama sebagian masyarakat yang memiliki berbagai macam kendala tertentu. Pembangunan gedung sekolah baru yang dilakukan setiap tahun misalnya, belum dapat menjangkau kelompok masyarakat ekonomi lemah yang tinggal di daerah-daerah terpencil. Bagi masyarakat yang memiliki kendala ekonomi, waktu dan geografis masih sulit untuk memperoleh layanan pendidikan melalui jalur pendidikan reguler/ konvensional. Padahal sebagai sesama anak bangsa, mereka memiliki hak yang sama dengan anak-anak lain yang lebih beruntung memperoleh pendidikan, sebagaimana dijamin oleh pasal 31 Undang-undang Dasar 1945. Dalam wilayah negara Indonesia yang luas dengan karakteristik geografis dan demografis yang begitu beragam, sangat sulit memberikan layanan pendidikan yang dapat menjangkau seluruh masyarakat terutama anak-anak yang memiliki berbagai kendala ekonomi, geografis dan waktu. Bahkan sekalipun di lokasi-lokasi seperti itu dibangun sekolah reguler, belum tentu kelompok anak yang memiliki kendala tersebut sempat mengikuti pendidikan karena kesibukannya bekerja membantu orang tua mencari nafkah. Bagi kelompok anak seperti ini, pergi ke sekolah setiap hari dengan segala konsekwensinya , merupakan kegiatan yang dianggap terlalu mahal. Anak-anak tersebut berada di luar jangkauan pendidikan konvensional. Oleh karena itu, perlu adanya alternatif program pendidikan non-konvensional untuk dapat menjangkau mereka. Sistem pendidikan terbuka dan sistem pendidikan jarak jauh dapat dijadikan alternatif untuk memberikan layanan pendidikan bagi kelompok anak yang memiliki kendala semacam itu. Untuk pendidikan tingkat SLTP, salah satu bentuk pendidikan terbuka yang telah dilaksanakan saat ini adalah Sekolah Menengah Pertama Terbuka (SMP Terbuka). Saat ini SMP Terbuka telah menjadi bagian integral dalam sistem pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan jarak jauh (termasuk juga SMP Terbuka), menurut Suparman dan Zuhairi, telah ditempatkan sebagai sistem pendidikan yang bersifat komplementer terhadap sistem pendidikan biasa. Ini berarti tanpa kehadirannya, dunia pendidikan menjadi tidak lengkap, karena akan terdapat sejumlah orang yang dengan cara apapun tidak dapat mengikuti pendidikan.[1] Bahkan, lebih tegas Miarso memandang bahwa SMP Terbuka bukan sekedar merupakan pendidikan komplementer atau suplementer, melainkan sebagai pendidikan kompensatorik yang bisa menjadi pengganti yang statusnya paralel terhadap lembaga pendidikan yang telah ada.[2] Jadi, adalah sangat beralasan jika akhirnya pemerintah Indonesia menetapkan SMP Terbuka sebagai salah satu alternatif dalam mengatasi masalah perluasan kesempatan belajar. Pada aspek yang lain, dipilihnya SMP Terbuka untuk mengatasi masalah pemerataan pendidikan karena adanya beberapa pertimbangan. Sebagaimana dikemukakan oleh Sadiman, Seligman dan Raharjo, SMP Terbuka ini dipilih karena sistem ini segera dapat dilaksanakan tanpa resiko merosotnya mutu pendidikan. SMP Terbuka memerlukan biaya yang relatif lebih murah dibanding sistem konvensional karena pelaksanaannya dapat memanfaatkan sumber-sumber yang telah ada.[3]SMP Terbuka telah dirintis sejak tahun 1979 pada lima lokasi sekolah rintisan. Dalam perkembangnnya, ketika dicanangkan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun pada tahun 1994, SMP Terbuka dijadikan salah satu program andalan untuk mensukseskan program ini. SMP Terbuka diharapkan dapat menjangkau anak-anak usia SMP yang tidak dapat mengikuti pendidikan di SMP biasa. Penyelenggaraan SMP Terbuka merupakan salah satu bentuk aplikasi konsep teknologi pendidikan untuk mengatasi masalah perluasan kesempatan belajar. Melalui SMP Terbuka diupayakan agar siswa dapat melaksanakan kegiatan belajar sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik pebelajar. Sistem SMP Terbuka berupaya untuk menjangkau anak-anak yang berkendala agar bisa belajar, dengan cara membentuk beberapa Tempat Kegiatan Belajar (TKB) yang berlokasi di sekitar tempat tinggal siswa. Jadi, bukan siswa yang dituntut harus datang ke sekolah setiap hari, melainkan “membawa” sekolah atau sumber belajar ke lingkungan siswa. Sebagaimana sistem pendidikan terbuka pada umumnya, kegiatan belajar di SMP Terbuka menerapkan prinsip-prinsip belajar mandiri. Sistem pembelajaran SMP Terbuka didesain sedemikian rupa sehingga siswa dapat belajar secara mandiri dengan bantuan terbatas dari orang lain. Sebagian besar kegiatan belajar di SMP Terbuka dilakukan siswa secara mandiri. Dalam kegiatan belajar, siswa tidak selalu tergantung kepada guru, karena memang tidak setiap hari mereka dapat bertatap muka dengan guru seperti halnya pada sekolah konvensional. Siswa SMP Terbuka dapat belajar pada waktu dan tempat yang diatur sesuai kondisi siswa. Dengan cara demikian, maka anak-anak yang bermasalah tersebut akan terbuka kesempatannya untuk bersekolah. Sistem pembelajaran mandiri sebagaimana diterapkan di SMP Terbuka masih dirasakan sebagai sesuatu yang baru bagi sebagian besar anak seusia SMP. Selama di Sekolah Dasar, siswa telah terbiasa belajar dengan cara konvensional (tatap muka) yang sangat tergantung pada guru kelas. Kemudian, ketika belajar di SMP Terbuka, mereka dituntut untuk dapat belajar secara mandiri. Dalam hal demikian, maka kemandirian belajar siswa menjadi faktor yang amat menentukan bagi keberhasilan belajar di SMP Terbuka. Oleh karena itu kemandirian belajar siswa perlu mendapat perhatian serius agar setiap siswa SMP Terbuka berhasil dalam mengikuti kegiatan belajar di SMP Terbuka. Untuk mengembangkan kemandirian belajar pada siswa SMP Terbuka, perlu dikaji karakteristik atau kondisi riil yang ada pada diri siswa. Siswa SMP Terbuka mempunyai karakteristik umum yang relatif berbeda dengan siswa sekolah biasa. Sebagian besar siswa SMP Terbuka berasal dari keluarga sosial ekonomi rendah, dari daerah pedesaan dan dari wilayah yang lebih terpencar. Kondisi mereka kurang menguntungkan dibanding dengan latar belakang siswa sekolah reguler.[4] Hal ini tentu dapat dimaklumi, karena sesuai misinya, SMP Terbuka memang untuk melayani anak-anak tamatan Sekolah Dasar / Madrasah Ibtidaiyah yang kurang beruntung karena keadaan sosial ekonomi, keterbatasan fasilitas transportasi, kondisi geografis, atau kendala waktu, sehingga tidak memungkinkan mereka mengikuti pelajaran sebagai siswa SMP reguler.[5] Kondisi siswa SMP Terbuka semacam itu tentu saja akan berdampak pada kondisi psikologis anak, termasuk dalam hal pembentukan konsep dirinya. Kondisi konsep diri siswa SMP Terbuka dengan latar belakang sosial seperti itu sangat menarik untuk dikaji secara mendalam. Mungkin saja kondisi siswa yang kurang menguntungkan itu berdampak negatif terhadap konsep diri mereka, atau barangkali justru sebaliknya. Kemudian, perlu pula dikaji lebih jauh, apakah mungkin kondisi konsep diri tersebut berhubungan dengan tingkat kemandirian belajar mereka. Sementara itu, kehadiran lembaga pendidikan terbuka dalam sistem pendidikan kita masih belum dikenal secara luas, terutama bagi kalangan masyarakat awam. Pandangan masyarakat terhadap keberadaan SMP Terbuka tentu saja beragam, ada yang positip ada pula yang sebaliknya. Bahkan masih banyak pula warga masyarakat mempunyai pandangan keliru terhadap sistem pendidikan terbuka semacam ini. Hasil penelitian Supriadi menggambarkan adanya kesan yang cukup kuat di masyarakat bahwa status dan prestise siswa SMP Terbuka dinilai lebih rendah daripada siswa SMP reguler.[6] Hal ini mungkin saja terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap sistem pendidikan terbuka.Beragamnya sikap terhadap SMP Terbuka bahkan mungkin juga terjadi pada siswa-siswa SMP Terbuka itu sendiri. Sejauh ini, masih sulit menemukan informasi aktual yang dapat menjelaskan bagaimana sebenarnya sikap siswa SMP Terbuka terhadap sistem pendidikan terbuka yang mereka ikuti. Apakah mereka belajar di SMP Terbuka hanya karena terpaksa, daripada tidak sekolah, atau memang mereka memiliki pandangan dan penilaian tertentu terhadap SMP Terbuka. Seiring dengan perkembangan SMP Terbuka yang saat ini telah tersebar di seluruh Indonesia, makin banyak pula fenomena yang bisa diamati terhadap penyelenggaraan SMP Terbuka. Oleh karena itu, mengkaji sikap para siswa terhadap SMP Terbuka adalah menjadi penting dan menarik.Berhubung SMP Terbuka menerapkan sistem pembelajaran mandiri, maka upaya meningkatkan kemandirian belajar siswa merupakan sesuatu yang amat penting. Sebab tanpa adanya kemandirian belajar yang memadai, proses pembelajaran di SMP Terbuka tidak akan dapat mencapai hasil seperti yang diharapkan. Bahkan, menurut Lewis dan Spencer, salah satu ciri yang paling pokok dalam sistem pendidikan terbuka adalah adanya komitmen untuk membantu siswa agar memiliki kemandirian belajar

Tidak ada komentar: