Data Guru Pamong TKB Mandiri Johar Baru

titled Document











































































Nomor
Nama Guru
Jabatan
1

Rahmawati

Agama Islam
2
Leni Chaerani, S.Pt

Alquran,Kimia, Biologi, dan Bendahara

3
Tri Pudjiyanti, S.Pd Ekonomi
4
Herinaldi, S.Ag Pendidikan Jasmani
5
Ari Setiyani

Alislam,Geografi, Alquran

6
Novin Widyawati, S.Pd Bahasa Inggris dan Koor TKB
7
Much. Imam Ibrahim Guru Kunjung
8
Casminah,S.S Bahasa Indonesia
9
Yuli Setya Wulandari,SPd Matematika
10
Idris Alquran
11
Rahmat Dinur Sekretaris TKB
12
Fariani Kurikulum
13
Husni,SPd Fisika dan Perpustakaan
14
Dadi Ramdhan,SPsi BK dan Kesiswaan




SMP Terbuka, Menjangkau Anak yang Tak Terjangkau Pendidikan Biasa

Belajar merupakan faktor penting dalam menentukan kualitas kehidupan seseorang. Oleh karena itu kesempatan belajar seharusnya dapat dimiliki oleh siapapun, di manapun dan kapanpun. Konsep pendidikan sepanjang hayat (life-long education) dan pendidikan untuk semua (education for all) yang dicetuskan oleh UNESCO merupakan suatu gagasan yang harus dapat diwujudkan di Indonesia. Namun upaya ke arah itu ternyata masih banyak menemui kendala. Hingga saat ini problem pemerataan kesempatan belajar masih menjadi masalah besar dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, misalnya melalui pembangunan gedung sekolah baru, peningkatan daya tampung pada sekolah-sekolah yang telah ada, penambahan fasilitas belajar, pengadaan dan pengangkatan tenaga guru, pemberian beasiswa, dan lain-lain. Namun upaya itu ternyata belum dapat mengatasi masalah pemerataan pendidikan secara tuntas. Masih banyak warga masyarakat yang belum dapat terjangkau oleh layanan pendidikan, terutama sebagian masyarakat yang memiliki berbagai macam kendala tertentu. Pembangunan gedung sekolah baru yang dilakukan setiap tahun misalnya, belum dapat menjangkau kelompok masyarakat ekonomi lemah yang tinggal di daerah-daerah terpencil. Bagi masyarakat yang memiliki kendala ekonomi, waktu dan geografis masih sulit untuk memperoleh layanan pendidikan melalui jalur pendidikan reguler/ konvensional. Padahal sebagai sesama anak bangsa, mereka memiliki hak yang sama dengan anak-anak lain yang lebih beruntung memperoleh pendidikan, sebagaimana dijamin oleh pasal 31 Undang-undang Dasar 1945. Dalam wilayah negara Indonesia yang luas dengan karakteristik geografis dan demografis yang begitu beragam, sangat sulit memberikan layanan pendidikan yang dapat menjangkau seluruh masyarakat terutama anak-anak yang memiliki berbagai kendala ekonomi, geografis dan waktu. Bahkan sekalipun di lokasi-lokasi seperti itu dibangun sekolah reguler, belum tentu kelompok anak yang memiliki kendala tersebut sempat mengikuti pendidikan karena kesibukannya bekerja membantu orang tua mencari nafkah. Bagi kelompok anak seperti ini, pergi ke sekolah setiap hari dengan segala konsekwensinya , merupakan kegiatan yang dianggap terlalu mahal. Anak-anak tersebut berada di luar jangkauan pendidikan konvensional. Oleh karena itu, perlu adanya alternatif program pendidikan non-konvensional untuk dapat menjangkau mereka. Sistem pendidikan terbuka dan sistem pendidikan jarak jauh dapat dijadikan alternatif untuk memberikan layanan pendidikan bagi kelompok anak yang memiliki kendala semacam itu. Untuk pendidikan tingkat SLTP, salah satu bentuk pendidikan terbuka yang telah dilaksanakan saat ini adalah Sekolah Menengah Pertama Terbuka (SMP Terbuka). Saat ini SMP Terbuka telah menjadi bagian integral dalam sistem pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan jarak jauh (termasuk juga SMP Terbuka), menurut Suparman dan Zuhairi, telah ditempatkan sebagai sistem pendidikan yang bersifat komplementer terhadap sistem pendidikan biasa. Ini berarti tanpa kehadirannya, dunia pendidikan menjadi tidak lengkap, karena akan terdapat sejumlah orang yang dengan cara apapun tidak dapat mengikuti pendidikan.[1] Bahkan, lebih tegas Miarso memandang bahwa SMP Terbuka bukan sekedar merupakan pendidikan komplementer atau suplementer, melainkan sebagai pendidikan kompensatorik yang bisa menjadi pengganti yang statusnya paralel terhadap lembaga pendidikan yang telah ada.[2] Jadi, adalah sangat beralasan jika akhirnya pemerintah Indonesia menetapkan SMP Terbuka sebagai salah satu alternatif dalam mengatasi masalah perluasan kesempatan belajar. Pada aspek yang lain, dipilihnya SMP Terbuka untuk mengatasi masalah pemerataan pendidikan karena adanya beberapa pertimbangan. Sebagaimana dikemukakan oleh Sadiman, Seligman dan Raharjo, SMP Terbuka ini dipilih karena sistem ini segera dapat dilaksanakan tanpa resiko merosotnya mutu pendidikan. SMP Terbuka memerlukan biaya yang relatif lebih murah dibanding sistem konvensional karena pelaksanaannya dapat memanfaatkan sumber-sumber yang telah ada.[3]SMP Terbuka telah dirintis sejak tahun 1979 pada lima lokasi sekolah rintisan. Dalam perkembangnnya, ketika dicanangkan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun pada tahun 1994, SMP Terbuka dijadikan salah satu program andalan untuk mensukseskan program ini. SMP Terbuka diharapkan dapat menjangkau anak-anak usia SMP yang tidak dapat mengikuti pendidikan di SMP biasa. Penyelenggaraan SMP Terbuka merupakan salah satu bentuk aplikasi konsep teknologi pendidikan untuk mengatasi masalah perluasan kesempatan belajar. Melalui SMP Terbuka diupayakan agar siswa dapat melaksanakan kegiatan belajar sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik pebelajar. Sistem SMP Terbuka berupaya untuk menjangkau anak-anak yang berkendala agar bisa belajar, dengan cara membentuk beberapa Tempat Kegiatan Belajar (TKB) yang berlokasi di sekitar tempat tinggal siswa. Jadi, bukan siswa yang dituntut harus datang ke sekolah setiap hari, melainkan “membawa” sekolah atau sumber belajar ke lingkungan siswa. Sebagaimana sistem pendidikan terbuka pada umumnya, kegiatan belajar di SMP Terbuka menerapkan prinsip-prinsip belajar mandiri. Sistem pembelajaran SMP Terbuka didesain sedemikian rupa sehingga siswa dapat belajar secara mandiri dengan bantuan terbatas dari orang lain. Sebagian besar kegiatan belajar di SMP Terbuka dilakukan siswa secara mandiri. Dalam kegiatan belajar, siswa tidak selalu tergantung kepada guru, karena memang tidak setiap hari mereka dapat bertatap muka dengan guru seperti halnya pada sekolah konvensional. Siswa SMP Terbuka dapat belajar pada waktu dan tempat yang diatur sesuai kondisi siswa. Dengan cara demikian, maka anak-anak yang bermasalah tersebut akan terbuka kesempatannya untuk bersekolah. Sistem pembelajaran mandiri sebagaimana diterapkan di SMP Terbuka masih dirasakan sebagai sesuatu yang baru bagi sebagian besar anak seusia SMP. Selama di Sekolah Dasar, siswa telah terbiasa belajar dengan cara konvensional (tatap muka) yang sangat tergantung pada guru kelas. Kemudian, ketika belajar di SMP Terbuka, mereka dituntut untuk dapat belajar secara mandiri. Dalam hal demikian, maka kemandirian belajar siswa menjadi faktor yang amat menentukan bagi keberhasilan belajar di SMP Terbuka. Oleh karena itu kemandirian belajar siswa perlu mendapat perhatian serius agar setiap siswa SMP Terbuka berhasil dalam mengikuti kegiatan belajar di SMP Terbuka. Untuk mengembangkan kemandirian belajar pada siswa SMP Terbuka, perlu dikaji karakteristik atau kondisi riil yang ada pada diri siswa. Siswa SMP Terbuka mempunyai karakteristik umum yang relatif berbeda dengan siswa sekolah biasa. Sebagian besar siswa SMP Terbuka berasal dari keluarga sosial ekonomi rendah, dari daerah pedesaan dan dari wilayah yang lebih terpencar. Kondisi mereka kurang menguntungkan dibanding dengan latar belakang siswa sekolah reguler.[4] Hal ini tentu dapat dimaklumi, karena sesuai misinya, SMP Terbuka memang untuk melayani anak-anak tamatan Sekolah Dasar / Madrasah Ibtidaiyah yang kurang beruntung karena keadaan sosial ekonomi, keterbatasan fasilitas transportasi, kondisi geografis, atau kendala waktu, sehingga tidak memungkinkan mereka mengikuti pelajaran sebagai siswa SMP reguler.[5] Kondisi siswa SMP Terbuka semacam itu tentu saja akan berdampak pada kondisi psikologis anak, termasuk dalam hal pembentukan konsep dirinya. Kondisi konsep diri siswa SMP Terbuka dengan latar belakang sosial seperti itu sangat menarik untuk dikaji secara mendalam. Mungkin saja kondisi siswa yang kurang menguntungkan itu berdampak negatif terhadap konsep diri mereka, atau barangkali justru sebaliknya. Kemudian, perlu pula dikaji lebih jauh, apakah mungkin kondisi konsep diri tersebut berhubungan dengan tingkat kemandirian belajar mereka. Sementara itu, kehadiran lembaga pendidikan terbuka dalam sistem pendidikan kita masih belum dikenal secara luas, terutama bagi kalangan masyarakat awam. Pandangan masyarakat terhadap keberadaan SMP Terbuka tentu saja beragam, ada yang positip ada pula yang sebaliknya. Bahkan masih banyak pula warga masyarakat mempunyai pandangan keliru terhadap sistem pendidikan terbuka semacam ini. Hasil penelitian Supriadi menggambarkan adanya kesan yang cukup kuat di masyarakat bahwa status dan prestise siswa SMP Terbuka dinilai lebih rendah daripada siswa SMP reguler.[6] Hal ini mungkin saja terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap sistem pendidikan terbuka.Beragamnya sikap terhadap SMP Terbuka bahkan mungkin juga terjadi pada siswa-siswa SMP Terbuka itu sendiri. Sejauh ini, masih sulit menemukan informasi aktual yang dapat menjelaskan bagaimana sebenarnya sikap siswa SMP Terbuka terhadap sistem pendidikan terbuka yang mereka ikuti. Apakah mereka belajar di SMP Terbuka hanya karena terpaksa, daripada tidak sekolah, atau memang mereka memiliki pandangan dan penilaian tertentu terhadap SMP Terbuka. Seiring dengan perkembangan SMP Terbuka yang saat ini telah tersebar di seluruh Indonesia, makin banyak pula fenomena yang bisa diamati terhadap penyelenggaraan SMP Terbuka. Oleh karena itu, mengkaji sikap para siswa terhadap SMP Terbuka adalah menjadi penting dan menarik.Berhubung SMP Terbuka menerapkan sistem pembelajaran mandiri, maka upaya meningkatkan kemandirian belajar siswa merupakan sesuatu yang amat penting. Sebab tanpa adanya kemandirian belajar yang memadai, proses pembelajaran di SMP Terbuka tidak akan dapat mencapai hasil seperti yang diharapkan. Bahkan, menurut Lewis dan Spencer, salah satu ciri yang paling pokok dalam sistem pendidikan terbuka adalah adanya komitmen untuk membantu siswa agar memiliki kemandirian belajar

93% Tamatan SMP Terbuka Tak Lanjutkan Pendidikan

ekitar 93% tamatan SMP Terbuka tidak dapat melanjutkan pelajaran ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena alasan kemiskinan, keterbatasan ekonomi dan tidak memiliki akses memadai terhadap informasi.

Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Depdiknas Suyanto di sela-sela lomba motivasi belajar mandiri (lomojari) di Jakarta, Selasa, mengatakan, akibat kemiskinannya, selepas lulus SMP Terbuka, anak-anak cenderung terjun ke dunia kerja atau ke lingkungan masyarakat untuk mencari nafkah sendiri.

"Bahkan bekerja membantu orangtuanya sebagaimana pernah mereka alami sejak masih kanak-kanak. Mereka hanya berfikir bagaimana bisa melangsungkan kehidupannya, jadi nggak mikir untuk melanjutkan pendidikan," kata Suyanto.

Upaya peningkatan mutu hasil pendidikan terus dilakukan. Salah satunya tamatan SMPT memiliki kompetensi sesuai dengan harapan kurikulum. Sehingga siswa SMPT dibekali keterampilan ini agar mereka dapat mandiri setelah lulus SMPT, katanya.

Karena itu, sejak tahun 2001 pemerintah telah merintis penyelenggaraan program pendidikan ketrampilan pra-vokasional bagi siswa SMP Terbuka.

Program ini direncanakan dapat dilaksanakan pada semua SMP Terbuka secara bertahap. Jenis pendidikan ketrampilan pra-vokasional yang dipilih dan cara melaksanakannya diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing sekolah.

Pemberian kewenangan ini lanjut Suyanto, sejalan dengan kebijakan Manajemen Peningkatan mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) yang telah dirintis pelaksanaannya oleh Direktorat Pendidikan Pembinaan SMP sejak l999/2000 dengan tujuan memandirikan sekolah. Kepada SMP Terbuka yang melaksanakan program pendidikan ketrampilan ini, Depdiknas memberikan bantuan dana `block grant` secara langsung.

Sampai saat ini sebanyak 3.081 tempat kegiatan belajar (TKB) yang berada di 1.881 SMP Terbuka sudah melaksanakan program pendidikan ketrampilan tersebut. Untuk 2006 direncanakan menambah 1.000 TKB yang akan menerima bantuan, katanya.

Pemberian pendidikan ketrampilan pada siswa SMP Terbuka ini setidaknya menyelesaikan dua masalah sekaligus. Yakni mempercepat penuntasan program wajib belajar 9 tahun, dan juga meningkatkan mutu hasil pendidikan. Dengan demikian setiap tamatan pendidikan dasar bisa memiliki kompetensi sesuai dengan yang diharapkan oleh kurikulum.

Lomojari bidang ketrampilan diikuti 38 SMP Terbuka dari 12 propinsi dan Lomojari akademik akan diikuti 33 regu. Beraneka macam keterampilan dan kerajinan mereka demontrasikan diantaranya pembuatan batik, bola sepak, asesoris rumah tangga, sepatu-sendal, menjahit pakaian, ukir kayu, kerampilan rotan, tata boga dan lainnya.

Terkait dengan hasil produksi siswa-siswi SMP Terbuka, Suyanto mengatakan masalah yang ada saat ini bagaimana mengembangkan dan memasarkan produk-produk kerajinan atau keterampilan siswa SMPT itu. Keterampilan di SMPT itu sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau pasar di luar wilayahnya.

"Problem saat ini bagaimana mereka dapat dibina oleh bapak angkat. Mestinya Pemda dan Kanwil Pendidikan setempat dapat membantu mereka untuk mencarikan bapak angkat atau menyalurkan potensi anak-anak ini ke perusahaan-perusahaan setempat," katanya.

Dikatakannya pelaksanaan wajib belajar 9 tahun yang dimulai tahun 1993/1994 direncanakan akan dapat tuntas 95% APK (Angka Partisipasi Kasar) pada tahun ajaran 2008/2009. Target siswa yang perlu ditampung SMP/MTs tahun 2007 sebanyak 1,039 juta siswa, tahun 2008 sebanyak 615 ribu siswa, tahun 2009 sebanyak 185 ribu orang.

Untuk jumlah siswa SMP/MTs yang perlu ditampung mulai tahun 2003 hingga 2009 sebesar 10.600.309 anak usia 13-15 tahun. Dari jumlah itu terdapat kelompok anak yang diperkirakan 258.000 anak memiliki kendala sosial-ekonomi, hambatan transportasi, geografis, atau kendala karena harus membantu orang tua bekerja untuk mencari nafkah.

"Sehingga kelompok ini tidak mungkin dapat mengikuti pendidikan pada SMP/MTs reguler, meskipun tempatnya tersedia di dekat tempat tinggal mereka. Bagi sekitar 258.000 anak yang tersebar di Indonesia, pemerintah menyediakan pelayanan pendidikan alternatif sesuai dengan kondisi anak-anak tersebut lewat SMP Terbuka," katanya.

Lomojari bidang keterampilan ke IV ini diikuti oleh 38 SMPT dari 12 provinsi yang berlangsung 8-10 Agustus 2006 di Plaza Depkdiknas Jakarta.

Sedangkan Lomojari bidang akademik tingkat nasional ke 11 diselenggarakan mulai 14-16 Agustus 2006 yang diikuti 33 regu pemenang Lomojari Akademik tingkat provinsi.

Babak penyisihan dan semifinal diselenggarakan di Wisma PKBI, Jl Hang Jebat III, Kebayoran Baru. Sedangkan final diselenggarakan di Auditorium TVRI Stasiun Pusat Jakarta.

sumber :http://www.kapanlagi.com/h/0000128584_print.html